Sabtu, 30 November 2013

Ekstraksi Daun Jambu Biji



BAB I PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
            Indonesia kaya akan tumbuh-tumbuhan, yang berdasarkan pengalaman telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita untuk memenuhi keperluan hidupnya antara lain sebagai obat. Walaupun efek secara umum dari sebagian obat tradisional telah dapat dirasakan manfaatnya. Namun, pembuktian secara ilmiah perlu dilakukan (Anonim, 1981). Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai relatif lebih aman dari pada pengobatan modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Anonim, 2007). Sebagian besar obat tradisional yang telah dikembangkan melalui seleksi alamiah dalam pemakaiannya ternyata belum memenuhi persyaratan ilmiah. Agar pemakaian obat tradisional dapat dipertanggungjawabkan perlu dilakukan penelitian baik untuk mencari komponen aktifnya maupun untuk menilai efektivitas dari keamanannya (Anonim, 1993).
            Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan dapat larut. Bahan mentah obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ataupun hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali dikumpulkan atau dikeringkan. Tiap-tiap bahan mentah obat disebut ekstrak, tidak mengandung hanya satu unsur saja tetapi berbagai unsur, tergantung pada obat yang digunakan dan kondisi dari ekstraksi (Ansel, 1989).
            Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan masa zat aktif yang semula berada dalam sel, ditarik oleh cairan penyari. Pada umumnya penyari akan bertambah baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan semakin luas. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, yang dimaksud dengan ekstrak adalah:
“Sediaan kental yang diperoleh dengan menyari senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan”. Secara sederhana definisi FI dapat diartikan bahwa ekstrak adalah produk dari simplisia yang diperoleh dengan menyari (dengan cara penyarian tertentu) simplisia dengan pelarut cair dan dilanjutkan dengan dikentalkan atau dikeringkan.
Untuk mendapatkan senyawa yang khas (zat aktif) dalam suatu tumbuhan, diperlukan metode ekstraksi yang cepat dan teliti (Harborne, 1987). Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sumber bahan alami dan senyawa yang akan diisolasi tersebut (Sarker et al., 2006).

1.2              Rumusan Masalah
a.       Bagaimana cara mengetahui pola kromatogram dari senyawa Quercetin yang terkandung pada buah Jambu biji?
b.      Bagaimana cara mengetahui kandungan kimia ekstrak daun jambu biji (Psidii Folium) melalui uji kandungan kimia ekstrak?
c.       Apakah metode analisis yang digunakan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan ?

1.3              Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui uji kandungan kimia ekstrak dengan cara penentuan pola kromatogram serta melakukan analisis kualitatif dengan KLT Densitometri.

1.4              Manfaat
a.       Pengujian ini diharapkan mampu mengembangkan daun jambu biji sebagai sediaan fitofarmaka yang memiliki nilai komersial.
b.      Mahasiswa dapat mengetahui pola kromatogram dari kandungan kimia ekstrak daun jambu biji.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ekstrak adalah sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh masa kental atau serbuk.
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu bahan simplisia sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut. Didalam satu simplisia ada senyawa yang dapat larut dalam cairan penyari dana ada yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Ekstrak yang digunakan pada praktikum kali ini adalah ekstrak daun jambu biji.
1.    Jambu biji
Tanaman jambu biji tumbuh alami di daerah tropis Amerika, dan saat ini dijumpai diseluruh daerah tropis dan sub tropis. Seringkali ditanam di pekarangan rumah. Tanaman ini sangat adaptif dan dapat tumbuh tanpa pemeliharaan. Terlalu banyak hujan selama musim pembuahan dapat menyebabkan buah pecah dan busuk, sering ditanam sebagai tanaman buah, sangat sering hidup alamiah ditepi hutan dan padang rumput (Sudarsono dkk, 2002).
Kandungan kimia yang terdapat dalam daun jambu biji antara lain : asam psidiloat, asam ursolat, asam krategolat, asam oleanolat, asam guaiavolat, quercetin dan minyak atsiri (Sudarsono dkk., 2002).Flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan.Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan inid apat menghasilkan tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid. Ketiga struktur tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 1. Struktur (a) flavonoid (b) isoflavonoid (c) neoflavonoid.
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida, flavanon C- dan O-glikosida, khalkon dengan C- dan O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron O-glikosida dan dihidroflavonol O-glikosida. Golongan flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya.Senyawa-senyawa flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan tinggi, seperti bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit kayu dan akar. Akan tetapi, senyawa flavonoid tertentu seringkali terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah, dan daun.
Quercetin adalah senyawa kelompok flavonol terbesar, quercetin dan glikosidanya berada dalam jumlah sekitas 60-75% dari flavonoid. Quercetin adalah salah satu zat aktif kelas flavonoid yang secaara biologis amat kuat. Bila vitamin C mempunyai aktifitas antioksidan 1, maka quercetin memiliki aktivitas antioksidan 4,7. Flavonoid merupakan sekelompok besar antioksidan bernama polifenol yang terdiri atas antosianididn, boflavon, katekin, flavanon, flavon, dan flavonol. Kersetin termasuk ke dalam kelompok flavonol.
Quercetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis penyakit degenerative dengan cara mencegah terjadinya proses peroksidasi lemak. Quercetin memperlihatkan kemampuan mencegah proses oksidasi dariQuercetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis penyakit degenerative dengan cara mencegah terjadinya proses peroksidasi lemak. Quercetin memperlihatkan kemampuan mencegah proses oksidasi dari Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara menangkap radikal bebas dan mengkhelat ion logam transisi.Ketika flavonol quercetin beraksi dengan radikal bebas, quercetin mendonorkan protonnya dan menjadi senyawa radikal, tapi electron tidak berpasangan yang dihasilkan didelokalisasi oleh resonansi, hal ini membuat senyawa quercetin radikal memiliki energi yang sangat rendah untuk menjadi radikal yang reaktif.
Gambar 2. Struktur Quercetin.
Flavonoid ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% (Harborne, 1987; Anonim, 1979). Pelarut etanol dapat digunakan untuk menyari zat yang kepolaran relatif tinggi sampai relatif rendah, karena etanol merupakan pelarut universal, etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel, dapat memperbaiki stabilitas bahan obat yang terlarut dan juga efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal (Voigt, 1994).

2.    Pola Kromatogram
Pola/ profil kromatogram bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasar pola kromatogram(KLT, KCKT, KG). Prinsip penentuan pola kromatogram adalah dengan menyari ekstrak menggunakan pelarut tertentu, kemudian dianalisis dengan kromatografi.
      Kromatografi adalah teknik pemisahan fisik suatu campuran zat-zat kimia yang berdasarkan pada perbedaan migrasi dari masing-masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam di bawah pengaruh pergerakan fase yang bergerak.
Kromatografi sendiri bertujuan untuk pemisahan komponen dari matriks sampel dan tetap dibiarkan dalam fase diam kemudian ditentukan untuk analisis. Dalam konteks pekerjaan ini kromatografi dipakai sebagai salah satu metode analisis. Disamping itu kromatografi dipakai pula untuk tujuan produksi atau preparatif, dalam hal ini komponen yang ingin dipisahkan dari matriks sampel harus dikeluarkan dari dalam fase diam, sehingga didapatkan bentuk komponen murni (isolasi).
Pada umumnya, semua teknik pemisahan kromatografi akan dapat dipakai untuk analisis sedangkan untuk preparatif atau produksi lebih terbatas pada kromatografi kolom, lapis tipis atau filtrasigel.

2.1    Keuntungan Metode Kromatografi
Sampai saat ini setelah mengalami perkembangan dengan pesat ternyata metode kromatografi sudah merupakan metode yang rutin dilakukan di laboratorium-laboratorium analisis. Kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom, dan kromatografi kertas dapat dilaksanakn hampir disemua laboratorium karena mudah sekali pelaksaannya.
 Metode kromatografi kegunaan dan frekuensi pemakaiannya menempati urutan kedua sesudah spektrofotometri, hal ini disebabkan ada beberapa aspek kegunaan metode kromatografi yang menguntungkan antara lain :
a.       kromatografi merupakan suatu proses berlipat ganda, artinya selama proses kromatografi terjadi banyak terulang kali kontak adsorbsi dan partisi komponen yang dipakai
b.      jangkauan analisis untuk analisis kualitatif sangat luas dari rentang kadar yang sangat tinggi bahkan untuk preparatif, sampai kadar yang sangat rendah.
c.       dapat dilaksanakan dengan mudah dan cepat, untuk hal ini diperlukan operator yang memiliki keterampilan yang baik, berpengalaman dan memiliki dasar pengetahuan teori yang memadai.
d.      biaya relatif murah dengan bahan yang mudah didapat bahkan pelarut pengembangannya dapat dipakai beberapa kali.
e.       ketelitian dan ketepatan yang memadai
2.2    Kromatografi Lapis Tipis
Ada tiga macam metode pemisahan kromatografi planar yaitu:
a.         Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
b.        Kromatografi kertas dan
c.         Elektro Kromatografi (elektro foresa)
Berbeda dengan kromatografi kolom yang fase diamnya diisikan atau terpaking didalam kolom, kromatografi planar fase diamnya merupakan lapisan uniform bidang datar yang didukung oleh pelat kaca, pelat alumunium, pelat plastik atau pelat sellulose pada kromatografi kertas.boleh dikatakan kromatografi planar ini merupakan bentuk terbuka dari kromatografi kolom. Sehinggakromatogarfi planar ini pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan kromatografi kolom.
Dibandingkan dengan kromatografi cair kinerja tinggi(KCKT), dan kromatografi gas(KG), KLT memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
a.  KLT memberikan fleksibilitas yang lebih besar, dalam hal memilih fase gerak.
b.  Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti pengembangan 2 dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat dilakukan pada KLT.
c.  Proses kromatografi dapat diikuti dengan mudah dan dapat dihentikan kapan saja.
d.  Semua komponen dalam sampel dapat dideteksi
   Pada identifikasi atau analisis lebih spesifik beberapa golongan kandungan kimia yang ditetapkan diantaranya adalah minyak atsiri, steroid, tanin, flavonoid, triterpenoid, alkaloid, dan antrakuinon dengan menggunakan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri, atau lainnya. Namun metode analisis harus sudah diuji validitasnya, terutama linearitas dan selektivitas. Tujuan dari penetapan kandungan kimia tertentu adalah memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek farmakologi.

3.    Analisis Kualitatif dengan Metode KLT
Kromatografi Lapis Tipis ( KLT ) menandai puncak perkembangan kromatografi adsorpsi yang dicetuskan pertama kali oleh Izamailov dan Shraiber pada tahun 1938. Sebagai fase diam adalah bahan padat yang diletakkan pada pelat gelas secara uniform dengan ketebalan lebih kurang 0.250 mm. Disamping pelat gelas juga sudah umum dipakai pelat dari logam atau plastic untuk memudahkan dokumentasi. Teknik KLT sangat penting artinya dalam bidang analisis dan kedudukan KLT telah menggeser kedudukan kromatografi kertas. Hanya saja elusi pada KLT pada umumnya dilakukan dengan cara menaik satu atau dua dimensi. Sebagai fase diam dipakai cairan atau campuran cairan yang dikenal sebagai pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur.
KLT merupakan metode pemisahan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorbs atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembangan campur. Pemilihan pelarut pengembangan campur sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat-zat kimia yang dipisahkan. Pada umumnya perbandingan pelarut pengembangan campur memakai perbandingan volume ( v/v ), akan tetapi perbandingan berat ( b/b ) akan lebih menguntungkan sebab perbandingan berat ( b/b ) akan tetap, baik pada fase cair atau uap dan dapat dipakai berulangkali dengan perbandingan tetap seperti semula.
3.1 Fase Diam KLT
Sama seperti pada fase diam KCKT, fase diam KLT juga dikenal beberapa macam sifat polaritasnya. Silika gel dikenal sebagai fase diam fase diam yang polar dan dapat dibuat non polar ( RP = Reversed Phase ) setelah dilakukan pengikatan gugus hidroksilnya dengan C2, C8 atau C18. Mekanisme pemisahan pada KLT juga dikenal bermacam-macam adsorpsi, partisi, pertukaran ion atau fase terbalik ( adsorpsi-partisi ).
Untuk pemisahan komponen sampel non polar atau hidrofobik ( tidak larut dalam air ) pada proses pemisahan adsorpsi diusahakan pelarut pengembangan atau pelarut pengembang campur yang bersifat non polar. Sebaliknya pada proses pemisahan partisi sampel yang polar atau hidrofilik ( larut dalam air ) dipakai pelarut pengembangan atau pelarut pengembang campur yang bersifat polar. Pada prinsipnya diusahakan pemisahan dengan KLT dilakukan dalam keadaan netral. Beberapa substansi bahan kimia dapat dipisahkan dengan fase diam seperti pada table berikut ini sebagai salah satu alternatif.



BAB III METODE

3.1       Alat dan Bahan
            Adapun alat dan bahan yang digunakan:
Alat
·      Labu alas bulat
·      Labu ukur 25 ml
·      Labu ukur 10 ml
·      Batang pengaduk
·      Pipet tetes
·      Water bath
·      Beaker glass
·      Gelas ukur
·      Lempeng KLT
·      Mikropipet
·      Densitometer
·      Chamber
Bahan
·      Etanol
·      HCL 57%
·      Kloroform
·      Aseton
·      Asam formiat
·      Standar quersetin
·      Ekstrak daun jambu biji

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1       Hasil Pengamatan
Tabel 1. Hasil nilai Rf Pola Kromatogram
Nama Sampel
Rf
λ (nm)
Standar quercetin
0,688
254
Sampel hidrolisis peak 1
0,575
254
Sampel  hidrolisis peak 2
0,699
254
Sampel non hidrolisis peak 1
0,675
254
Sampel non hidrolisis peak 2
0,690
254
Standar quercetin
0,699
365
Sampel hidrolisis peak 1
0,643
365
Sampel hidrolisis peak 2
0,700
365
Sampel non hidrolisis peak 1
0,712
365
Sampel non hidrolisis peak 2
0,663
365

Harga Rf pada lempeng, dihitung secara manual:
Sampel  Hidrolisis       = 5 / 8,8           = 0,568
Standar quercetin        = 4,9 / 8,8        = 0,557
Sampel Non hidrolisis = 0 / 8,8           = 0

Jumlah Noda pada λ 254 nm
Jumlah Noda pada λ 365 nm
Jumlah Noda Tanpa Densito
Standar
1
1
1
Sampel hidrolisis
2
2
3
Sampel Non Hidrolisis
2
2
-

4.2       Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kami melakukan uji kandungan kimia ekstrak menggunakan pola kromatogram dan analisis kualitatif, dimana ekstrak yang kami gunakan adalah ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava folium). Penentuan pola/profil kromatogram bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT). Prinsip penentuan pola kromatrogram adalah dengan menyari ekstrak menggunakan pelarut tertentu kemudian dilakukan analisis kromatogram.
Ekstrak yang kami gunakan dalan praktikum kali ini diperoleh dengan cara perkolasi. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang dilakukan pada temperatur ruangan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan pola kromatogram, dimana sampel yang digunakan terdiri dari 2 macam (sampel I dan Sampel II). Sampel I merupakan sampel terhidrolisis, dimana pada sampel ini ditambahkan 21 ml etanol untuk melarutkan ekstrak dan 0,6 ml HCl 57% untuk memutuskan ikatan glikosida antara quercetin dan glikonnya. Alasan pemilihan etanol sebagai pelarut karena dapat memisahkan komponen senyawa yang terkandung dalam serbuk daun jambu bii secara optimal dan tidak merusak kandungan senyawa didalamnya serta memiliki aktivitas antimikroba. Pemanasan pada suhu 700c selama 30 menit bertujuan untuk mempercepat proses hidrolisis dan juga mempercepat terputusnya ikatan gikosida antara quercetin dan glikonnya. Sedangkan pada sampel II, ekstrak hanya dilarutkan dengan etanol.
Perbedaan dari 2 sampel ini adalah ada tidaknya proses hidrolisis. Pada sampel yang mengalami hidrolisis kandungan senyawanya bersifat non polar karena proses hidrolisis akan memutus ikatan glikosida antara quercetin dan glikonnya (glukosa), sehingga quercetin tidak mengandung gugug OH. Sebaliknya pada sampel II yang tidak mengalami proses hidrolisis, kandungan senyawanya bersifat polar karena quercetin mengandung gugus OH dari glukosa.
Kondisi analisis dalam penentuan pola kromatogram adalah sebagai berikut :
Fase gerak                   : kloroform:aseton:asam formiat = 150:33:17
Fase diam                    : silica gel F254
Panjang gelombang     : 254 dan 365 nm
Berdasarkan kondisi analisis diatas, maka fase diam bersifat polar sedangkan fase gerak bersifat non-polar.
Pada lempeng KLT dilakukan penotolan sampel dan standar dengan jumlah yang berbeda dimana pada sampel sebanyak 10µl dan pada standar hanya 2 µl. Hal ini dikarenakan pada standar dipastikan mengandung senyawa quercetin saja dalam jumlah yang telah diketahui konsentrasinya, sedangkan pada sampel hanya mengandung sedikit senyawa quercetin. Maka dari itu penotolan sampel lebih banyak dari standar.
Scanning dilakukan pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm karena pada panjang gelombang tersebut pola kromatogram dari quercetin dapat teramati secara maksimal. Pada panjang gelombang 254 nm terjadi pemadaman bercak, yaitu silica yang berpendar sedangkan nodanya menutupi silica, sedangkan pada panjang gelombang 365 nm senyawa pada noda mengalami eksitasi.
Berikut adalah hasil analisis lempeng KLT dengan densitometer pada 2 panjang gelombang pengamatan (245 nm dan 365 nm).
Dari profil kromatogram di atas terlihat perbedaan antara puncak sampel yang terhidrolisis dan puncak sampel yang non-hidrolisis pada pengamatan di 2 panjang gelombang (254 nm dan 365 nm). Pada sampel yang non-hidrolisis, puncak terdeteksi berada di dekat penotolan. Puncak ini tidak dapat dideteksi identitasnya karena tidak dilakukan analisis pembanding Sampel yang tidak dihirolisis memiliki puncak di dekat penotolan karena kuersetin pada sampel tersebut masih dalam bentuk glikosidanya. Bentuk glikosida ini bersifat polar sehingga cenderung lebih tertarik pada fase diam (fase diam polar, fase gerak: non-polar). Akibatnya glikosida kuersetin tidak tereluasi.  
        Sedangkan pada sampel yang telah dihidrolisis, puncak memiliki Rf yang hampir sama dengan Rf standar kuersetin. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa puncak tersebut merupakan puncak kuersetin. Sampel yang telah dihidrolisis memiliki Rf yang hampir sama dengan Rf standar kuersetin karena proses hidrolisis menyebabkan ikatan glikosida pada glikodisa kuersetin terputus sehingga menjadi kuersetin.
        Langkah kedua adalah melakukan analisis kualitatif dengan menggunakan sampel yang telah dipreparasi sebelumya dan larutan standar quersetin. Sampel yang telah dipreparasi sebelumnya dan standar quercetin ditotolkan pada lempeng KLT sebanyak 10 µl untuk sampel dan 2µl untuk standar quercetin. Dari hasil KLT diamati warna noda dengan lampu UV dan ditandai noda-noda yang terlihat baik sampel maupun standar, kemudian hitung harga Rf secara manual. Rf merupakan suatu nilai yang diperoleh dari jarak yang ditempuh oleh eluen terhadap jarak yang ditempuh oleh zat. Lempeng kemudian di-scan menggunakan densitometer pada panjang gelombang 200-500 nm. Hal ini dilakukan untuk menentukan panjang gelombang maksimum kuersetin yang digunakan untuk menghitung kadar kuersetin dalam sampel. Berikut adalah spectra hasil scaning menggunakan densitometer.
Dari hasil di atas, panjang gelombang maksimum dipilih pada track nomor 5 karena track tersebut merupakan miliki kuersetin sehingga panjang gelombang maksimum yang terpilih adalah panjang gelombang maksimum kuersetin.
Nilai Rf yang diperoleh dari perhitungan manual:
·         Sampel terhidrolisis           : 0,568
·         Sampel non-hidrolisis        : 0
·         Standar                              : 0,557
Sedangkan perhitungan Rf dari data densitometer adalah sebagai berikut:
·         Track 2 (sampel hidrolisis 254 nm)
Rf Peak 1 : 0,575
Rf Peak 2 : 0,699
·         Track 5 (standar quercetin 254 nm)
Rf Peak 1 : 0,688
·         Track 7 (sampel non hidrolisis 254 nm)
Rf Peak 1 : 0,675
Rf Peak 2 : 0,069
·         Track 2 (sampel hidrolisis 365 nm)
Rf Peak 1 : 0,643
Rf Peak 2 : 0, 700
·         Track 5 (standar quercetin 365 nm)
Rf Peak 1 : 0,699
·         Track 7 (sampel non hidrolisis 365 nm)
Rf Peak 1 : 0,712
Rf Peak 2 : 0,663
Rf digunakan untuk mengetahui apakah kandungan kimia sampel yang kami gunakan sama atau tidak dengan standar (kuersetin). Dari nilai Rf yang diperoleh menunjukkan bahwa puncak sampel memiliki nilai Rf yang mendekati standar. Untuk panjang gelombang 254 nm, standarnya sebesar  0, 688. Dan Rf untuk sampelnya mendekati Rf standar. Sedangkan untuk panjang gelombang 365 nm, didapatkan Rf standar sebesar 0,699, dan sampelnya juga mendekati nilai tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan kimia sampel sama dengan standar yaitu mengandung quercetin.


BAB V KESIMPULAN

1)      Penentuan pola/profil kromatogram bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT).
2)      Dengan penentuan pola kromatogram, maka dapat diketahui gambaran awal komposisi kandungan kimia suatu ekstrak. Dalam praktikum ini, yaitu kandungan senyawa quercetin dalam ekstrak Psidii Folium. Sampel mengandung quercetin berdasarkan nilai Rf yang mendekati dengan Rf standar.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1977, Materia Medika Indonesia, Jilid I. Jakrta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim. 1986. Handbook of Pharmaceutical Excipients. USA: the American Pharmaceutical Assoociation.
Anonim. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta; Depkes RI Direktorat Jendaral Pengawasan Obat dan Makanan dan Direktorat Jendaral Pengawasan Obat Tradisional.

Harborne, J.B, dkk. 1994. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.
Rohman, Abdul. 2009. Kromatografi untuk Analisis Obat. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: UGM Press.