BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia kaya akan tumbuh-tumbuhan, yang
berdasarkan pengalaman telah dimanfaatkan oleh nenek moyang kita untuk memenuhi
keperluan hidupnya antara lain sebagai obat. Walaupun efek secara umum dari
sebagian obat tradisional telah dapat dirasakan manfaatnya. Namun, pembuktian
secara ilmiah perlu dilakukan (Anonim, 1981). Penggunaan obat tradisional
secara umum dinilai relatif lebih aman dari pada pengobatan modern. Hal ini
disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih
sedikit dari pada obat modern (Anonim, 2007). Sebagian besar obat tradisional
yang telah dikembangkan melalui seleksi alamiah dalam pemakaiannya ternyata
belum memenuhi persyaratan ilmiah. Agar pemakaian obat tradisional dapat dipertanggungjawabkan
perlu dilakukan penelitian baik untuk mencari komponen aktifnya maupun untuk
menilai efektivitas dari keamanannya (Anonim, 1993).
Ekstraksi adalah penarikan zat pokok yang
diinginkan dari bahan mentah obat dan menggunakan pelarut yang dipilih dimana
zat yang diinginkan dapat larut. Bahan mentah obat yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan ataupun hewan tidak perlu diproses lebih lanjut kecuali
dikumpulkan atau dikeringkan. Tiap-tiap bahan mentah obat disebut ekstrak,
tidak mengandung hanya satu unsur saja tetapi berbagai unsur, tergantung pada
obat yang digunakan dan kondisi dari ekstraksi (Ansel, 1989).
Ekstraksi atau penyarian merupakan
peristiwa perpindahan masa zat aktif yang semula berada dalam sel, ditarik oleh
cairan penyari. Pada umumnya penyari akan bertambah baik bila permukaan serbuk
simplisia yang bersentuhan semakin luas. Menurut Farmakope Indonesia Edisi III,
yang dimaksud dengan ekstrak adalah:
“Sediaan kental yang diperoleh dengan
menyari senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan”. Secara sederhana definisi FI dapat diartikan bahwa ekstrak adalah
produk dari simplisia yang diperoleh dengan menyari (dengan cara penyarian
tertentu) simplisia dengan pelarut cair dan dilanjutkan dengan dikentalkan atau
dikeringkan.
Untuk mendapatkan senyawa yang khas (zat aktif)
dalam suatu tumbuhan, diperlukan metode ekstraksi yang cepat dan teliti
(Harborne, 1987). Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sumber bahan alami
dan senyawa yang akan diisolasi tersebut (Sarker et al., 2006).
1.2
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana
cara mengetahui pola kromatogram dari senyawa Quercetin yang terkandung pada
buah Jambu biji?
b.
Bagaimana
cara mengetahui kandungan kimia ekstrak daun jambu biji (Psidii Folium) melalui uji kandungan kimia ekstrak?
c.
Apakah
metode analisis yang digunakan telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan ?
1.3
Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui
uji kandungan kimia ekstrak dengan cara penentuan pola kromatogram serta
melakukan analisis kualitatif dengan KLT Densitometri.
1.4
Manfaat
a. Pengujian
ini diharapkan mampu mengembangkan daun jambu biji sebagai sediaan fitofarmaka
yang memiliki nilai komersial.
b. Mahasiswa
dapat mengetahui pola kromatogram dari kandungan kimia ekstrak daun jambu
biji.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Ekstrak adalah
sediaan pekat atau kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan sehingga diperoleh masa
kental atau serbuk.
Ekstraksi adalah
kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut dari suatu bahan simplisia
sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut. Didalam satu simplisia ada
senyawa yang dapat larut dalam cairan penyari dana ada yang tidak larut seperti
serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Ekstrak yang digunakan pada
praktikum kali ini adalah ekstrak daun jambu biji.
1.
Jambu biji
Tanaman jambu biji
tumbuh alami di daerah tropis Amerika, dan saat ini dijumpai diseluruh daerah
tropis dan sub tropis. Seringkali ditanam di pekarangan rumah. Tanaman ini
sangat adaptif dan dapat tumbuh tanpa pemeliharaan. Terlalu banyak hujan selama
musim pembuahan dapat menyebabkan buah pecah dan busuk, sering ditanam sebagai
tanaman buah, sangat sering hidup alamiah ditepi hutan dan padang rumput
(Sudarsono dkk, 2002).
Kandungan kimia
yang terdapat dalam daun jambu biji antara lain : asam psidiloat, asam ursolat,
asam krategolat, asam oleanolat, asam guaiavolat, quercetin dan minyak atsiri
(Sudarsono dkk., 2002).Flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa fenol
terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah,
ungu, dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam
tumbuh-tumbuhan.Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15
atom karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane
(C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan inid apat menghasilkan
tiga jenis struktur, yakni 1,3-diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan
atau isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid. Ketiga struktur
tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Gambar 1. Struktur (a) flavonoid (b) isoflavonoid (c)
neoflavonoid.
Flavonoid
merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali
alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi
(Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon
C- dan O-glikosida, flavanon C- dan O-glikosida, khalkon dengan C- dan
O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron
O-glikosida dan dihidroflavonol O-glikosida. Golongan flavon, flavonol,
flavanon, isoflavon, dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk
aglikonnya.Senyawa-senyawa flavonoid terdapat dalam semua bagian tumbuhan
tinggi, seperti bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit kayu dan akar. Akan
tetapi, senyawa flavonoid tertentu seringkali terkonsentrasi dalam suatu
jaringan tertentu, misalnya antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah, dan
daun.
Quercetin adalah
senyawa kelompok flavonol terbesar, quercetin dan glikosidanya berada dalam
jumlah sekitas 60-75% dari flavonoid. Quercetin adalah salah satu zat aktif
kelas flavonoid yang secaara biologis amat kuat. Bila vitamin C mempunyai
aktifitas antioksidan 1, maka quercetin memiliki aktivitas antioksidan 4,7.
Flavonoid merupakan sekelompok besar antioksidan bernama polifenol yang terdiri
atas antosianididn, boflavon, katekin, flavanon, flavon, dan flavonol. Kersetin
termasuk ke dalam kelompok flavonol.
Quercetin
dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa jenis penyakit degenerative
dengan cara mencegah terjadinya proses peroksidasi lemak. Quercetin
memperlihatkan kemampuan mencegah proses oksidasi dariQuercetin dipercaya dapat
melindungi tubuh dari beberapa jenis penyakit degenerative dengan cara mencegah
terjadinya proses peroksidasi lemak. Quercetin memperlihatkan kemampuan
mencegah proses oksidasi dari Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara
menangkap radikal bebas dan mengkhelat ion logam transisi.Ketika flavonol quercetin
beraksi dengan radikal bebas, quercetin mendonorkan protonnya dan menjadi
senyawa radikal, tapi electron tidak berpasangan yang dihasilkan didelokalisasi
oleh resonansi, hal ini membuat senyawa quercetin radikal memiliki energi yang
sangat rendah untuk menjadi radikal yang reaktif.
Gambar 2. Struktur Quercetin.
Flavonoid ini
dapat diekstraksi dengan etanol 70% (Harborne, 1987; Anonim, 1979). Pelarut
etanol dapat digunakan untuk menyari zat yang kepolaran relatif tinggi sampai
relatif rendah, karena etanol merupakan pelarut universal, etanol tidak
menyebabkan pembengkakan membran sel, dapat memperbaiki stabilitas bahan obat
yang terlarut dan juga efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang
optimal (Voigt, 1994).
2. Pola Kromatogram
Pola/ profil kromatogram bertujuan untuk
memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasar pola kromatogram(KLT,
KCKT, KG). Prinsip penentuan pola kromatogram adalah dengan menyari ekstrak
menggunakan pelarut tertentu, kemudian dianalisis dengan kromatografi.
Kromatografi adalah teknik
pemisahan fisik suatu campuran zat-zat kimia yang berdasarkan pada perbedaan
migrasi dari masing-masing komponen campuran yang terpisah pada fase diam di
bawah pengaruh pergerakan fase yang bergerak.
Kromatografi
sendiri bertujuan untuk pemisahan komponen dari matriks sampel dan tetap
dibiarkan dalam fase diam kemudian ditentukan untuk analisis. Dalam konteks
pekerjaan ini kromatografi dipakai sebagai salah satu metode analisis.
Disamping itu kromatografi dipakai pula untuk tujuan produksi atau preparatif,
dalam hal ini komponen yang ingin dipisahkan dari matriks sampel harus
dikeluarkan dari dalam fase diam, sehingga didapatkan bentuk komponen murni
(isolasi).
Pada umumnya,
semua teknik pemisahan kromatografi akan dapat dipakai untuk analisis sedangkan
untuk preparatif atau produksi lebih terbatas pada kromatografi kolom, lapis
tipis atau filtrasigel.
2.1 Keuntungan Metode Kromatografi
Sampai saat ini
setelah mengalami perkembangan dengan pesat ternyata metode kromatografi sudah
merupakan metode yang rutin dilakukan di laboratorium-laboratorium analisis.
Kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom, dan kromatografi kertas
dapat dilaksanakn hampir disemua laboratorium karena mudah sekali pelaksaannya.
Metode kromatografi kegunaan dan frekuensi pemakaiannya menempati urutan
kedua sesudah spektrofotometri, hal ini disebabkan ada beberapa aspek kegunaan
metode kromatografi yang menguntungkan antara lain :
a. kromatografi merupakan suatu
proses berlipat ganda, artinya selama proses kromatografi terjadi banyak
terulang kali kontak adsorbsi dan partisi komponen yang dipakai
b. jangkauan analisis untuk
analisis kualitatif sangat luas dari rentang kadar yang sangat tinggi bahkan
untuk preparatif, sampai kadar yang sangat rendah.
c. dapat dilaksanakan dengan
mudah dan cepat, untuk hal ini diperlukan operator yang memiliki keterampilan
yang baik, berpengalaman dan memiliki dasar pengetahuan teori yang memadai.
d. biaya relatif murah dengan
bahan yang mudah didapat bahkan pelarut pengembangannya dapat dipakai beberapa
kali.
e. ketelitian dan ketepatan yang
memadai
2.2 Kromatografi Lapis Tipis
Ada tiga macam
metode pemisahan kromatografi planar yaitu:
a.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
b.
Kromatografi kertas dan
c.
Elektro Kromatografi (elektro foresa)
Berbeda dengan
kromatografi kolom yang fase diamnya diisikan atau terpaking didalam kolom,
kromatografi planar fase diamnya merupakan lapisan uniform bidang datar yang
didukung oleh pelat kaca, pelat alumunium, pelat plastik atau pelat sellulose
pada kromatografi kertas.boleh dikatakan kromatografi planar ini merupakan
bentuk terbuka dari kromatografi kolom. Sehinggakromatogarfi planar ini
pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan kromatografi kolom.
Dibandingkan
dengan kromatografi cair kinerja tinggi(KCKT), dan kromatografi gas(KG), KLT
memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
a. KLT memberikan fleksibilitas yang
lebih besar, dalam hal memilih fase gerak.
b. Berbagai macam teknik untuk optimasi pemisahan seperti
pengembangan 2 dimensi, pengembangan bertingkat, dan pembaceman penjerap dapat
dilakukan pada KLT.
c. Proses kromatografi dapat diikuti
dengan mudah dan dapat dihentikan kapan saja.
d. Semua komponen dalam sampel dapat
dideteksi
Pada
identifikasi atau analisis lebih spesifik beberapa golongan kandungan kimia
yang ditetapkan diantaranya adalah minyak atsiri, steroid, tanin, flavonoid,
triterpenoid, alkaloid, dan antrakuinon dengan menggunakan metode
spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri, atau lainnya. Namun metode
analisis harus sudah diuji validitasnya, terutama linearitas dan selektivitas.
Tujuan dari penetapan kandungan kimia tertentu adalah memberikan data kadar
kandungan kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga
bertanggung jawab pada efek farmakologi.
3. Analisis Kualitatif dengan Metode KLT
Kromatografi Lapis
Tipis ( KLT ) menandai puncak perkembangan kromatografi adsorpsi yang
dicetuskan pertama kali oleh Izamailov dan Shraiber pada tahun 1938. Sebagai
fase diam adalah bahan padat yang diletakkan pada pelat gelas secara uniform
dengan ketebalan lebih kurang 0.250 mm. Disamping pelat gelas juga sudah umum
dipakai pelat dari logam atau plastic untuk memudahkan dokumentasi. Teknik KLT
sangat penting artinya dalam bidang analisis dan kedudukan KLT telah menggeser
kedudukan kromatografi kertas. Hanya saja elusi pada KLT pada umumnya dilakukan
dengan cara menaik satu atau dua dimensi. Sebagai fase diam dipakai cairan atau
campuran cairan yang dikenal sebagai pelarut pengembang atau pelarut pengembang
campur.
KLT merupakan
metode pemisahan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorbs atau partisi
oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembangan
campur. Pemilihan pelarut pengembangan campur sangat dipengaruhi oleh macam dan
polaritas zat-zat kimia yang dipisahkan. Pada umumnya perbandingan pelarut
pengembangan campur memakai perbandingan volume ( v/v ), akan tetapi
perbandingan berat ( b/b ) akan lebih menguntungkan sebab perbandingan berat (
b/b ) akan tetap, baik pada fase cair atau uap dan dapat dipakai berulangkali
dengan perbandingan tetap seperti semula.
3.1 Fase Diam KLT
Sama seperti pada
fase diam KCKT, fase diam KLT juga dikenal beberapa macam sifat polaritasnya.
Silika gel dikenal sebagai fase diam fase diam yang polar dan dapat dibuat non
polar ( RP = Reversed Phase ) setelah dilakukan pengikatan gugus hidroksilnya
dengan C2, C8 atau C18. Mekanisme pemisahan
pada KLT juga dikenal bermacam-macam adsorpsi, partisi, pertukaran ion atau
fase terbalik ( adsorpsi-partisi ).
Untuk pemisahan
komponen sampel non polar atau hidrofobik ( tidak larut dalam air ) pada proses
pemisahan adsorpsi diusahakan pelarut pengembangan atau pelarut pengembang
campur yang bersifat non polar. Sebaliknya pada proses pemisahan partisi sampel
yang polar atau hidrofilik ( larut dalam air ) dipakai pelarut pengembangan
atau pelarut pengembang campur yang bersifat polar. Pada prinsipnya diusahakan
pemisahan dengan KLT dilakukan dalam keadaan netral. Beberapa substansi bahan
kimia dapat dipisahkan dengan fase diam seperti pada table berikut ini sebagai
salah satu alternatif.
BAB III METODE
3.1 Alat dan Bahan
Adapun
alat dan bahan yang digunakan:
Alat
· Labu alas bulat
· Labu ukur 25 ml
· Labu ukur 10 ml
· Batang pengaduk
· Pipet tetes
· Water bath
· Beaker glass
· Gelas ukur
· Lempeng KLT
· Mikropipet
· Densitometer
· Chamber
Bahan
· Etanol
· HCL 57%
· Kloroform
· Aseton
· Asam formiat
· Standar quersetin
· Ekstrak daun jambu biji
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Pengamatan
Tabel 1. Hasil nilai Rf Pola Kromatogram
Nama Sampel
|
Rf
|
λ (nm)
|
Standar quercetin
|
0,688
|
254
|
Sampel hidrolisis peak 1
|
0,575
|
254
|
Sampel hidrolisis peak 2
|
0,699
|
254
|
Sampel non hidrolisis peak 1
|
0,675
|
254
|
Sampel non hidrolisis peak 2
|
0,690
|
254
|
Standar quercetin
|
0,699
|
365
|
Sampel hidrolisis peak 1
|
0,643
|
365
|
Sampel hidrolisis peak 2
|
0,700
|
365
|
Sampel non hidrolisis peak 1
|
0,712
|
365
|
Sampel non hidrolisis peak 2
|
0,663
|
365
|
Harga Rf pada lempeng, dihitung secara manual:
Sampel
Hidrolisis = 5 / 8,8 = 0,568
Standar quercetin = 4,9 / 8,8 = 0,557
Sampel Non hidrolisis = 0 / 8,8 = 0
Jumlah Noda pada λ 254 nm
|
Jumlah Noda pada λ 365 nm
|
Jumlah Noda Tanpa Densito
|
|
Standar
|
1
|
1
|
1
|
Sampel hidrolisis
|
2
|
2
|
3
|
Sampel Non Hidrolisis
|
2
|
2
|
-
|
4.2 Pembahasan
Pada praktikum
kali ini, kami melakukan uji kandungan kimia ekstrak menggunakan pola
kromatogram dan analisis kualitatif, dimana ekstrak yang kami gunakan adalah
ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava
folium). Penentuan
pola/profil kromatogram bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi
kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram (KLT). Prinsip penentuan pola
kromatrogram adalah dengan menyari ekstrak menggunakan pelarut tertentu
kemudian dilakukan analisis kromatogram.
Ekstrak yang kami
gunakan dalan praktikum kali ini diperoleh dengan cara perkolasi. Perkolasi adalah ekstraksi
dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction)
yang dilakukan pada temperatur ruangan.
Langkah pertama yang
dilakukan adalah menentukan pola kromatogram, dimana sampel yang digunakan
terdiri dari 2 macam (sampel I dan Sampel II). Sampel I merupakan sampel
terhidrolisis, dimana pada sampel ini ditambahkan 21 ml etanol untuk melarutkan ekstrak dan 0,6 ml HCl 57% untuk
memutuskan ikatan glikosida antara quercetin dan glikonnya. Alasan pemilihan
etanol sebagai pelarut karena dapat memisahkan komponen senyawa yang terkandung
dalam serbuk daun jambu bii secara optimal dan tidak merusak kandungan senyawa
didalamnya serta
memiliki aktivitas antimikroba. Pemanasan pada suhu 700c
selama 30 menit bertujuan untuk mempercepat proses hidrolisis dan juga mempercepat terputusnya ikatan
gikosida antara quercetin dan glikonnya. Sedangkan pada sampel II, ekstrak hanya dilarutkan dengan etanol.
Perbedaan dari 2 sampel ini adalah ada tidaknya proses hidrolisis. Pada sampel yang
mengalami hidrolisis kandungan senyawanya bersifat non polar karena proses
hidrolisis akan memutus ikatan glikosida
antara quercetin dan glikonnya (glukosa), sehingga quercetin tidak mengandung gugug OH. Sebaliknya pada
sampel II yang tidak mengalami proses hidrolisis, kandungan senyawanya bersifat
polar karena quercetin mengandung gugus OH dari glukosa.
Kondisi analisis dalam penentuan pola kromatogram adalah sebagai berikut :
Fase gerak : kloroform:aseton:asam formiat =
150:33:17
Fase diam : silica gel F254
Panjang gelombang : 254 dan 365 nm
Berdasarkan kondisi analisis diatas, maka fase diam bersifat polar
sedangkan fase gerak bersifat non-polar.
Pada lempeng KLT dilakukan penotolan sampel dan standar dengan jumlah yang
berbeda dimana pada sampel sebanyak 10µl dan pada standar hanya 2 µl. Hal ini dikarenakan
pada standar dipastikan mengandung senyawa quercetin saja dalam jumlah yang
telah diketahui konsentrasinya, sedangkan pada sampel hanya mengandung sedikit
senyawa quercetin. Maka dari itu penotolan sampel lebih banyak dari standar.
Scanning dilakukan pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm karena pada
panjang gelombang tersebut pola kromatogram dari quercetin dapat teramati
secara maksimal. Pada panjang gelombang 254 nm terjadi pemadaman bercak, yaitu
silica yang berpendar sedangkan nodanya menutupi silica, sedangkan pada panjang
gelombang 365 nm senyawa pada noda mengalami eksitasi.
Berikut adalah hasil analisis
lempeng KLT dengan densitometer pada 2 panjang gelombang pengamatan (245 nm dan
365 nm).
Dari profil kromatogram di atas terlihat
perbedaan antara puncak sampel yang terhidrolisis dan puncak sampel yang
non-hidrolisis pada pengamatan di 2 panjang gelombang (254 nm dan 365 nm). Pada
sampel yang non-hidrolisis, puncak terdeteksi berada di dekat penotolan. Puncak
ini tidak dapat dideteksi identitasnya karena tidak dilakukan analisis
pembanding Sampel yang tidak dihirolisis memiliki puncak di dekat penotolan
karena kuersetin pada sampel tersebut masih dalam bentuk glikosidanya. Bentuk
glikosida ini bersifat polar sehingga cenderung lebih tertarik pada fase diam
(fase diam polar, fase gerak: non-polar). Akibatnya glikosida kuersetin tidak
tereluasi.
Sedangkan pada sampel yang telah
dihidrolisis, puncak memiliki Rf yang hampir sama dengan Rf standar kuersetin.
Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa puncak tersebut
merupakan puncak kuersetin. Sampel yang telah dihidrolisis memiliki Rf yang hampir
sama dengan Rf standar kuersetin karena proses hidrolisis menyebabkan ikatan
glikosida pada glikodisa kuersetin terputus sehingga menjadi kuersetin.
Langkah kedua adalah melakukan
analisis kualitatif dengan menggunakan sampel yang telah dipreparasi sebelumya dan
larutan standar quersetin. Sampel
yang telah dipreparasi sebelumnya dan standar quercetin ditotolkan pada lempeng
KLT sebanyak 10 µl untuk sampel dan 2µl untuk standar quercetin. Dari hasil KLT
diamati warna noda dengan lampu UV dan ditandai noda-noda yang terlihat baik
sampel maupun standar, kemudian hitung harga Rf secara manual. Rf merupakan
suatu nilai yang diperoleh dari jarak yang ditempuh oleh eluen terhadap jarak
yang ditempuh oleh zat. Lempeng kemudian di-scan
menggunakan densitometer pada panjang gelombang 200-500 nm. Hal ini
dilakukan untuk menentukan panjang gelombang maksimum kuersetin yang digunakan
untuk menghitung kadar kuersetin dalam sampel. Berikut adalah spectra hasil scaning menggunakan densitometer.
Dari hasil di
atas, panjang gelombang maksimum dipilih pada track nomor 5 karena track
tersebut merupakan miliki kuersetin sehingga panjang gelombang maksimum yang
terpilih adalah panjang gelombang maksimum kuersetin.
Nilai Rf yang diperoleh dari perhitungan manual:
·
Sampel terhidrolisis : 0,568
·
Sampel non-hidrolisis : 0
·
Standar :
0,557
Sedangkan
perhitungan Rf dari data densitometer adalah sebagai berikut:
·
Track
2 (sampel hidrolisis 254 nm)
Rf Peak 1 : 0,575
Rf Peak 2 : 0,699
·
Track
5 (standar quercetin 254 nm)
Rf Peak 1 : 0,688
·
Track
7 (sampel non hidrolisis 254 nm)
Rf Peak 1 : 0,675
Rf Peak 2 : 0,069
·
Track
2 (sampel hidrolisis 365 nm)
Rf Peak 1 : 0,643
Rf Peak 2 : 0, 700
·
Track
5 (standar quercetin 365 nm)
Rf Peak 1 : 0,699
·
Track
7 (sampel non hidrolisis 365 nm)
Rf Peak 1 : 0,712
Rf Peak 2 : 0,663
Rf digunakan untuk
mengetahui apakah kandungan kimia sampel yang kami gunakan sama atau tidak
dengan standar (kuersetin). Dari nilai Rf yang diperoleh menunjukkan bahwa puncak
sampel memiliki nilai Rf yang mendekati standar. Untuk panjang gelombang 254 nm, standarnya
sebesar 0, 688. Dan Rf untuk sampelnya mendekati Rf standar.
Sedangkan untuk panjang gelombang 365 nm, didapatkan Rf standar sebesar 0,699, dan sampelnya juga mendekati nilai tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan kimia sampel
sama dengan standar yaitu mengandung quercetin.
BAB V KESIMPULAN
1) Penentuan pola/profil kromatogram
bertujuan untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan
pola kromatogram (KLT).
2) Dengan penentuan pola
kromatogram, maka dapat diketahui gambaran awal komposisi kandungan kimia suatu
ekstrak. Dalam praktikum ini, yaitu kandungan senyawa quercetin dalam ekstrak
Psidii Folium. Sampel mengandung quercetin berdasarkan nilai Rf yang mendekati
dengan Rf standar.
Anonim, 1977, Materia
Medika Indonesia, Jilid I. Jakrta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim. 1986. Handbook
of Pharmaceutical Excipients. USA: the American Pharmaceutical Assoociation.
Anonim. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta; Depkes RI Direktorat Jendaral Pengawasan Obat dan Makanan dan Direktorat Jendaral Pengawasan Obat Tradisional.
Anonim. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta; Depkes RI Direktorat Jendaral Pengawasan Obat dan Makanan dan Direktorat Jendaral Pengawasan Obat Tradisional.
Harborne, J.B,
dkk. 1994. Metode Fitokimia : Penuntun
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.
Rohman, Abdul.
2009. Kromatografi untuk Analisis Obat.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi.
Yogyakarta: UGM Press.
Makasih ya atas informasi yang diberikan sangat bermanfaat sekali untuk menambah pengetahuan
BalasHapussalam kenal dari
Kolak kolang kaling
makasih banyak , ane butuh buat isolasi quercetin, :D
BalasHapus